Selasa, 18 Agustus 2020

(COVID-19) Cerpen Tema Harapan: Do'a Pengantar Keberhasilan

Do'a Pengantar Keberhasilan

Suasana minggu pagi terasa sangat tenang, dari balik jendela kamar berukuran kecil, aku hanya mendengar suara dedaunan bergesekan yang tertiup oleh angin. “Andai saja aku punya sedikit waktu untuk beristirahat dan bermain lagi, huftt”, ucapku sambil menghela napas.

Pagi itu, aku disibukkan dengan tugas kuliah dan harus melanjutkan penulisan lomba karya tulis keduaku. “Junaa.. Junn.. ayo kelapangan, kita main bola” ujar Faisal dari balik pintu kamar. “Aku masih banyak kerjaan, lain kali saja” jawabku dengan singkat. Karena kegigihanku, semua pekerjaan berhasil selesai siang harinya. 

Dahulu, aku sama sekali tidak tertarik untuk belajar. Bahkan sehari sebelum pelaksanaan ujian sekolah pun aku belum tahu jadwal ujiannya. Belajar memang hal yang sangat membosankan. Tiba saat hari kelulusan SMA, aku melihat teman-teman yang lain meneteskan air mata bahagia ibunya dikarenakan lulus dengan nilai sempurna dan mendapat jalur bebas tes masuk Perguruan Tinggi Negeri. Sangat berbeda dengan aku yang lulus hanya dengan nilai biasa. Saat itu aku merasa seperti ditampar dengan keras. 

“Aku juga harus bisa seperti teman-teman yang lain, jadi alasan kebahagiaan orang tua”, ucapku dalam hati. Sampai saat suatu malam, aku berjalan keluar dari lorong rumah, tanpa sengaja aku melihat dan mendengar ibu yang sedang berdo'a sehabis sholatnya dengan suara yang tersedu-sedu. “Ya Allah, hamba ingin melihat anak hamba berhasil. Jadikanlah ia anak yang sholeh, anak yang cerdas dan menjadi anak yang bermanfaat bagi orang banyak”, ucap ibu sambil meneteskan air matanya.

Do'a ibu tercekat dalam-dalam dibenakku, seketika membuat kakiku serasa tertancap ke tanah seakan tidak mampu lagi untuk melangkah. Badan jadi semakin lemas setelah mendengar harapan dan do'a yang ibu panjatkan. “Apa yang sudah aku kerjakan selama ini? Bahkan aku sama sekali belum pernah membuat ibu bahagia”, seruku dalam hati dengan penuh penyesalan.

Sejak saat itu, kata-kata yang menjadi harapan ibu selalu teringat dan berputar-putar dikepalaku. “Alasanku untuk harus jadi lebih baik sudah jelas, untuk ibu dan untuk orang-orang yang aku sayangi”, ucapku dengan suara yang lantang. Aku mengemas tekad, membungkusnya dengan rapi, berharap suatu hari akan kuhadiahkan pada ibu. 

Beberapa minggu kemudian, aku mendapat kabar gembira sekaligus menjadi awal kebahagiaan ibu. Aku lulus disalah satu Perguruan Tinggi Negeri di Sulawesi Selatan. “Terima kasih Ya Allah, padahal aku hanya baru punya niat untuk berubah dan belum berusaha sama sekali, namun Engkau telah memberiku jalan”, kataku sambil menangis haru. Bukti bahwa Sang Pencipta selalu memeluk do'a-do'a baik hambanya, aku didekatkan dengan mimpiku.

Selama masa awal perkuliahan, setiap harinya terasa semakin berat, tetapi hal itu yang membuat aku lebih semangat menjalani semuanya, sampai aku sadar akan sesuatu.

“Ternyata begini rasanya memiliki impian dalam hidup, aku tidak akan berhenti mengejarnya sampai Tuhan katakan waktunya pulang”, seruku sambil menggenggam pena.

Setelah dua tahun berlalu, aku sudah mencapai kemajuan-kemajuan kecil dalam hidupku. Aku berhasil melewati beberapa semester dengan nilai yang cukup bagus dan mendapat beasiswa. Saat itu, untuk pertama kalinya aku jadi seorang yang sangat bahagia karena bisa membuat ibu bangga dan tersenyum kembali. 

Minggu pagi yang sibuk merangkak ke siang, aku duduk di pinggir lapangan sambil menatap seorang ibu yang sedang menggendong putri kecilnya dari kejauhan. Terdengar langkah kaki seseorang dari arah belakang datang dan menghampiriku.

“Jangan harap aku akan kalah darimu!” ucap Riki dengan nada yang pelan.

“Dia ini salah satu mahasiswa yang dikenal hebat, tetapi maksud perkataannya apa ya?” ujarku dalam hati. Setelah itu, Riki pergi dengan wajah kesal.

Hal itu terus terbayang dipikiranku, bahkan sampai aku hendak tidur dan akhirnya aku benar-benar tidak mengerti bagaimana harus menyikapinya.

“Sekarang ada orang yang merasa terganggu dengan pencapaianku, aku tidak ingin menjadi penghalang impian orang lain!” seruku dengan wajah yang murung.

Keesokan harinya, saat setelah aku berjalan keluar dari ruang kelas, seseorang memanggil dan mengajakku untuk mengikuti lomba.

“Junaa.. kamu mau tidak, ikut lomba ini denganku?” kata Hikmah sambil memperlihatkan brosur lombanya.

“Wah boleh, tapi aku belum pernah buat karya tulis sebelumnya” jawabku.

“Baiklah, masalah penulisannya nanti kita belajar bersama. Kebetulan ada kegiatan pelatihan penulisan karya tulis nanti sore di aula kampus, kamu jangan lupa datang” jawab Hikmah dengan wajah yang gembira.

Hari itu menjadi awal kesibukan baruku. Kupikir, mungkin dengan menulis aku bisa membantu banyak orang. Dari brosur lomba tadi, aku sempat melihat syarat lomba adalah peserta harus tergabung dalam tim dan setiap tim terdiri dari tiga orang. Jadi aku tidak sendirian. Ini kesempatan untuk belajar hal yang baru, sekaligus akan menjadi lomba karya tulis pertamaku.

Sore itu, aku berjalan kaki menuju aula kampus. Dari kejauhan aku sudah bisa melihat Hikmah dan temannya berdiri menunggu didepan aula.

“Itu kan Riki, kenapa dia ada disini?” ujarku dalam hati.

“Hai Juna, kenalkan ini teman satu tim kita, Riki. Kita sudah harus masuk ke aula sekarang, kegiatannya sudah mau dimulai.” ucap Hikmah sambil melempar senyumnya.

“Oh iya” jawabku dengan singkat.

Selama satu minggu penuh aku belajar dan menulis bersama mereka. Seiring dengan berjalannya waktu, sikap Riki mulai berubah. Kami jadi lebih akrab, entah karena sudah mulai saling memahami atau apa pun itu, yang terpenting aku senang melihat Riki yang sekarang.

Setelah beberapa hari kemudian, pengumuman hasil lomba keluar. Aku dan teman yang lain sudah siap menerima apapun hasil keputusannya. Hasilnya, kami berada  pada peringkat dua puluh sembilan. Bagi kami, itu sudah merupakan pencapaian yang luar biasa karena sudah bisa masuk tiga puluh besar. Dari sini aku mulai tertarik untuk bisa terus menulis, dan mengikuti lomba-lomba lainnya.

Sampai tiba pada malam ini, keadaan menjadi sangat berbeda sekaligus menjengkelkan, dimana semua kegiatan yang sudah dipersiapkan sebelumnya harus dibatalkan, termasuk lomba karya tulis keduaku. “Kenapa jadinya seperti ini? Padahal baru siang tadi aku menyelesaikan tulisan ini” ujarku dengan perasaan kesal. Lomba karya tulis dibatalkan dengan alasan himbauan dari pemerintah terkait pandemi covid-19. Pembatalan ini sangat memukul perasaanku, sampai aku lupa tentang satu hal yang paling mendasar. 

“Apa-apaan aku ini? Tidak selamanya jalan yang dilalui akan selalu lurus, mungkin ini bagian dari proses keberhasilanku nanti. Keadaan hari ini tidak akan bisa menghalangi niat dan tekad aku untuk tetap produktif. Sampai saat ini aku sadar, aku sangat jarang bersyukur atas apa yang telah terjadi, hal itu yang membuatku jadi seorang yang lemah” ucapku dengan suara yang tegas.

Kesibukanku untuk mengejar impian dan harapan akan menjadi lebih menyenangkan jika selalu bersyukur di setiap keadaan. Walaupun hanya hal kecil, tetapi itu akan sangat membantu proses pencapaianku selanjutnya. Aku harus tetap berdiri dan mengejar semua harapan itu, karena aku punya alasan untuk bertahan. Aku harus menguatkan tungkai kaki untuk berlari mengejar mimpi, mengeja sabar seperti tetes air mata ibu yang jatuh satu-satu dalam setiap do'a yang dipanjatkan untukku. Air mata harapan ibu, suatu hari harus kukemas menjadi air mata bahagia.

Penulis: Muh Junaedy Saputra Jafar
Gowa, April 2020



Terima kasih kepada semua pembaca, harapan penulis semoga pesan moral dalam cerpen dapat sepenuhnya tersampaikan dan segala permasalahan serta musibah berat yang datang ditahun 2020 ini bisa diselesaikan juga berlalu secepatnya. 

Puisi-Dalam Seberang yang Lain

  Dalam Seberang yang Lain Karya: Muh. Junaedy Saputra Jafar Pada kota yang sangat jauh, Bangunan-bangunan yang hampir jatuh. Tempat...